MIZANMAG.COM - Kita sering mendengar bahwa kita tidak boleh pilih-pilih dalam berteman. Kita harus berteman dengan siapa saja, agar tidak dicap sombong atau asosial. Benarkah “nasihat” tersebut?
Bila kita mau kaji dan konfrontasikan dengan teori psikologi pertumbuhan, terutama remaja, nasihat tersebut terlihat manis, tapi sesungguhnya layak dibahas lebih mendalam. Dalam usia 12 – 21 tahun, yang kerap diidentikkan dengan fase remaja, manusia memasuki tahapan identitas versus kebingungan peran. Di periode ini, manusia berusaha betul mencari identitasnya dan fungsi ia dilahirkan—yang mana menyebabkan kita mengerahkan segala daya pikiran dan perasaan untuk menemukannya.
Nah, di sinilah fungsi kedua dari persahabatan selain sebagai fungsi sosial berperan. Mengapa? Karena ternyata dalam menemukan jawaban dari identitas dan fungsi kehidupan ini, banyak dari kita menggunakan teman sebagai bantuan untuk menemukan jawabannya. Dan, sebagian besar dari manusia memang akan mengikut apa kata sahabatnya, termasuk masalah pengidentitasan diri.
Hal ini, menurut Inna Muthmainnah, dalam porsinya sebagai seorang psikolog, mungkin terjadi mengingat pengaruh sahabat lebih unggul sebanyak 20 persen ketimbang faktor DNA. Artinya, pengaruh sahabat jauh lebih besar bila dibandingkan urusan garis keturunan.
Sebagai contoh, kita ambil kasus remaja dan rokok. Berdasarkan informasi dari Susenas tahun 2001, Lampung dan Jawa Barat tercatat sebagai dua propinsi dengan jumlah perokok tertinggi di Indonesia. Diskes Jawa Barat bahkan sempat mencatat ada 65,3 juta perokok di wilayahnya—dan semuanya adalah remaja.
Penelitian kemudian dilakukan untuk menyelidiki penyebab di balik angka yang mencengangkan ini. Tujuannya, kurang lebih, mengetahui sikap awal remaja pada rokok dan poin-poin yang membantu sikap itu terbentuk. Lokasi penelitian mengambil satu sampel SMP yang melibatkan 60 siswa tingkat 7, 8, dan 9. Metodenya adalah pengisian kuesioner, lalu dianalisa. Kesimpulan penelitiannya? Ada lima pernyataan.
Pertama, rata-rata remaja—pada pertama kalinya—bersikap menolak rokok. Tapi, penolakan tersebut berganti karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang secara signifikan memengaruhi sikap awal itu adalah teman sebaya dan karakteristik kepribadian dengan selang kepercayaan dengan prosentase lebih dari 90 persen.
Kedua, secara demografik, ada perbedaan pada pilihan perilaku merokok. Remaja perempuan cenderung lebih anti ketimbang remaja laki-laki. Dari segi umur juga terlihat ada perbedaan. Makin rendah umurnya, makin rendah minatnya—sedang makin tinggi usianya, makin tinggi minatnya. Sekali lagi, usia remaja adalah usia yang menunjukkan usia ketertarikan yang besar pada rokok.
Ketiga, terbukti pengaruh teman sebaya (peer group) pada rokok sangat dominan. Teman-temanlah yang mendorong remaja untuk merokok sebagai syarat pergaulan, pengidentitasan gender kelaki-lakian (merokok dianggap sebagai tanda pembedaan dengan perempuan), dan budaya orang dewasa.
Keempat, tingginya frekuensi iklan dan media dalam mempromosikan rokok juga memengaruhi remaja untuk merokok. Walau karakter remaja dapat digeneralisir sebagai karakter yang ekstrovert, tapi faktor ini tidak cukup signifikan dalam menstimulan remaja untuk merokok. Nyatanya, pengaruh media seperti televisi, radio, internet, majalah, dan koran lebih besar. Apalagi dengan motivasi dari teman sebaya, jadilah remaja memutuskan untuk merokok.
Bersama teman, remaja, dengan kata lain, “menentukan” identitas dan perannya sebagai manusia dewasa kelak. Bersama merekalah, remaja akan menjawab kegelisahan-kegelisahan khas usia mereka. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Siapa aku?”, “Apa yang aku bisa?”, “Ke mana aku akan melangkah?”, “Bagaimana aku meraih masa depan?”, “Apa pegangan hidupku?”, “Apa tujuanku hidup di muka bumi?”, akan coba kita simpulkan jawabannya dengan pergaulan. Apa-apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan simpulkan dalam interaksi persahabatan dijadikan bahan untuk mengisi titik-titik di “formulir penuh pertanyaan” yang mereka punya.
Khamim Zarkasih Putro, Pengajar di prodi Ilmu Komunikasi UMY dan dosen UIN Sunan Kalijaga, dalam sidang promosi doktor terbuka di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menyampaikan hasil penelitiannya yang berjudul “Agresivitas Pelajar di Kota Yogyakarta (Studi Kasus Di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta)”. Khamim menyimpulkan genk-genk remaja, yang kerap menimbulkan tawuran, dan perilaku-perilaku negatif lainnya itu hanyalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Menurut Khamim, untuk menetralisir perilaku agresif tersebut, dibutuhkan peran serta orang tua, sekolah dan lingkungan pelajar.
“Sekolah juga hendaknya diupayakan memfasilitasi siswanya agar dapat selektif dalam memilih teman. Kemudian, orang tua sebagai sekolah pertama anak hendaknya juga bisa menerapkan pola asuh yang dapat memberikan contoh baik sehingga dapat menjadi teladan bagi anak, serta dapat mencegah perilaku agresif anak,”
Sumber
Sumber
Label:
ISD